Kejaksaan Agung, Jakarta - Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 4 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu 5 Februari 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Pathurrahman dari Kejaksaan Negeri Badung, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kronologi berawal pada Sabtu 9 November 2024 sekitar pukul 10.00 WITA di Pantai Batu Bolong, Jl. Pantai Batu Bolong, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Tersangka yang sedang berada di Pantai Batu Bolong melihat ada 1 (satu) unit handphone iPhone 14 Promax berwarna ungu, tertimbun pasir di dekat tangga masuk pantai.
Saat melihat handphone tersebut, timbul niat Tersangka untuk mengambil handphone dengan tujuan untuk menjualnya guna memenuhi kebutuhan keluarganya di Lombok. Kemudian, Tersangka menyalakan handphone yang ia temukan.
Setelah handphone tersebut dinyalakan oleh tersangka, muncul notifikasi untuk menghubungi nomor yang tertera melalui pesan Whatsapp atas nama saksi MIRZA ANANDA, kemudian Tersangka menghubungi nomor tersebut.
Saksi MIRZA ANANDA meminta Tersangka untuk mengembalikan Handphone tersebut kepada korban ARLI SAPUTRA. Kemudian korban mengajak tersangka untuk bertemu dengan akan memberikan imbalan jika handphone tersebut dikembalikan
Bahwa Tersangka mengiyakan pertemuan yang diminta oleh korban dan pada tanggal 18 November 2024 sekira pukul 13.00 WITA di Pantai Batu Bolong, Jalan Pantai Batu Bolong, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, setelah korban ARLI SAPUTRA bertemu dengan Tersangka, lalu korban ARLI SAPUTRA langsung menghubungi pihak Polsek Kuta Utara untuk proses lebih lanjut.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Badung Sutrisno Margi Utomo, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Yusran Ali Baadilla, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator I Gst Ngr Wirayoga, S.H. dan Imam Ramdhoni, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Setelah itu, Saksi Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan tanpa adanya syarat.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Badung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr. Ketut Sumedana, S.H, M.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu 5 Februari 2025.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 3 perkara lain yaitu:
Tersangka Rahmad Koem dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka I Dedy Simamora dan Tersangka II Patar Simamora dari Cabang Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara di Siborong-Borong, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Christiano Mamahit dari Kejaksaan Negeri Minahasa, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
Tulis Komentar